Biarkan malam menghantarkanku pada nostalgia
Dan menjadikanmu abadi pada sajak metafora
Saat dahulu gelap disini sampai gelap disana
Hanya tergenggam lilin kecil dan secercah cahyanya
Kusuai merenjana akan masa itu
Kala istimewa hadirmu sinarkan hampanya sinarku
Yang memapahku dari kelabu
Bersamaku menuju penghujung itu
Aku belum menemukan lentera lainnya
Maka jangan redupkan pijarmu sebelum pijarnya
Biarkan sukmaku tetap merengkuhmy, lentera pertama
Abadilah terangiku meski kelak ku kan temukannya
*Kupersembahkan puisi ini untukmu, murabbiyahku yang ku sayangi, Mba Dee ku..
Crafty Poems
Let the virtual scratches tell you something
Selasa, 14 Juni 2016
Sajak-Sajak Pujangga
Sajak-sajak pujangga bercerita
Kisah yang bersua dengan kata
Tersirat sempurna pada dalamnya frasa
Ada cinta ada luka
Dan ku terbawa karena para rima
Nostalgia akan dahulunya warna-warna
Merah jambu, juga kelabu disana
Dan kini, jingga di ujung senja
Sukmamu abadi pada tiap-tiap baitnya
Dan rasaku memeluk tiap-tiap diksinya
Sekalipun segala terhempas masa
Akan bersaksi sajak-sajak pujangga
Kisah yang bersua dengan kata
Tersirat sempurna pada dalamnya frasa
Ada cinta ada luka
Dan ku terbawa karena para rima
Nostalgia akan dahulunya warna-warna
Merah jambu, juga kelabu disana
Dan kini, jingga di ujung senja
Sukmamu abadi pada tiap-tiap baitnya
Dan rasaku memeluk tiap-tiap diksinya
Sekalipun segala terhempas masa
Akan bersaksi sajak-sajak pujangga
Jumat, 01 April 2016
Waktu
Adalah dirimu
Pemandu detik kini menjelma menjadi lalu
Adalah dirimu
Bertaut haluan takdir menjadi saksi bisu
Dalam malam biru memeluk angin sendu
Kau tahu, terlalu lelah aku mengutukmu
Kau tahu, terlalu lelah aku memintamu
Menjelmalah, menjelmalah seperti dahulu!
Tetapi kau palingkan wajahmu dan berlalu
Sedikitpun tiada celah tuk rubah sukmamu
Sekalipun ku kerahkan sejuta nujum padamu
Tiada kau berbalik menghadapku
Tiada guna, katamu
Dan kau ajukan diriku untuk memilih satu
Beriringan dengan hadirmu yang baru
Atau berpasrah hingga kau merenggutku
*Btw waktu itu nunjukin ketemen dia salah ngartiinnya wkwkwk. Subjek kau disini yang ku maksud itu waktu ^^
Pemandu detik kini menjelma menjadi lalu
Adalah dirimu
Bertaut haluan takdir menjadi saksi bisu
Dalam malam biru memeluk angin sendu
Kau tahu, terlalu lelah aku mengutukmu
Kau tahu, terlalu lelah aku memintamu
Menjelmalah, menjelmalah seperti dahulu!
Tetapi kau palingkan wajahmu dan berlalu
Sedikitpun tiada celah tuk rubah sukmamu
Sekalipun ku kerahkan sejuta nujum padamu
Tiada kau berbalik menghadapku
Tiada guna, katamu
Dan kau ajukan diriku untuk memilih satu
Beriringan dengan hadirmu yang baru
Atau berpasrah hingga kau merenggutku
*Btw waktu itu nunjukin ketemen dia salah ngartiinnya wkwkwk. Subjek kau disini yang ku maksud itu waktu ^^
Minggu, 20 Maret 2016
Kembali
Angin sendu mengantarmu pada haluan takdirmu
Dan asaku kau kembali seiring waktu
Dan aku masih disini, kau tahu?
Bersamaku yang masih ranum meski dimakan waktu
Nostalgia merasuk dalam nadi-nadiku
Masa lalu menjelma rindu akan cinta yang semu
Dan kalbu terus bertanya mencecarku
Adakah namamu bersanding di lauhul mahfudzku?
Berbaliklah dan berjalanlah ke tempat yang sama
Kembalilah dan bukan pada masa ini
Kembali dan bawalah segenap asa yang telah tertunda
Kembali dan bawalah izin yang pada-Nya ku dimilikki
Dan asaku kau kembali seiring waktu
Dan aku masih disini, kau tahu?
Bersamaku yang masih ranum meski dimakan waktu
Nostalgia merasuk dalam nadi-nadiku
Masa lalu menjelma rindu akan cinta yang semu
Dan kalbu terus bertanya mencecarku
Adakah namamu bersanding di lauhul mahfudzku?
Berbaliklah dan berjalanlah ke tempat yang sama
Kembalilah dan bukan pada masa ini
Kembali dan bawalah segenap asa yang telah tertunda
Kembali dan bawalah izin yang pada-Nya ku dimilikki
Kau yang Tersakiti
Sendu masih menghiasi air mukamu
Wajah yang senja dimakan habis Sang Waktu
Wajah yang tiada mulus seperti dahulu
Wajah lelah menahan raungan kalbu
Sedikitpun mereka tak akan menoleh rasamu, kau tahu?
Sakitnya kala mereka tumbangkan nadi-nadimu
Sakitnya kala mereka merogoh isi perutmu
Sesaknyua kala mereka keruhkan nafasmu
Tak terhitung sakitmu sekian waktu, terlebih hatimu
Dan kala dirimu kambuh, mereka mengadu
Meronta tanpa sudi obatimu
Dibenak mereka hanya kefanaan yang semu
Andai mereka menyadari
Rintihanmu, kau yang tersakiti
Andai mereka perduli, oh Ibuku, Pertiwi
Rintihanmu, sebelum kau semakin tua dan diambang mati
Wajah yang senja dimakan habis Sang Waktu
Wajah yang tiada mulus seperti dahulu
Wajah lelah menahan raungan kalbu
Sedikitpun mereka tak akan menoleh rasamu, kau tahu?
Sakitnya kala mereka tumbangkan nadi-nadimu
Sakitnya kala mereka merogoh isi perutmu
Sesaknyua kala mereka keruhkan nafasmu
Tak terhitung sakitmu sekian waktu, terlebih hatimu
Dan kala dirimu kambuh, mereka mengadu
Meronta tanpa sudi obatimu
Dibenak mereka hanya kefanaan yang semu
Andai mereka menyadari
Rintihanmu, kau yang tersakiti
Andai mereka perduli, oh Ibuku, Pertiwi
Rintihanmu, sebelum kau semakin tua dan diambang mati
Senin, 01 Juni 2015
Akhiran
Andai bisa kusampaikan
Andai bisa kau merasakan
Rindu mentari pada rembulan
Tiada diutarakan, bukan?
Tiada pula kau tahu sesaknya ditahan
Aku merindumu dalam iringan hujan
Tiada pula awan memberi perhatian
Atau hanya akukah yang berlebihan?
Tetapi lebih baik begini bukan?
Merindu dan mencinta dalam diam atas kenangan
Nostalgia bicara tentang cinta dan masa depan
Masih terlalu hijau bagi kita kau katakan
Tiada pula kita dapat menjamin hal kemudian
Mungkin yang terbaik melepaskan untuk kebaikan
Tuk tutup perjalanan panjang bermandikan kesalahan
Kau telah berhitung satu sampai delapan
Hingga cahya membangunkanmu dari angan
Dan cukup bagiku dua jemari tangan
Untuk menjadikanmu sebuah akhiran
Sebelum datang waktunya di kemudian
Dan pada akhirnya kita seutuhnya menyerahkan
Semua pada haluan takdir yang telah digariskan
Bersama denganmu atau seorang lain yang kan menggantikan
Kita peroleh yang terbaik sebagai jawaban
Tetapi tiada salah meminta namamu dimasa depan, bukan?
Andai bisa kau merasakan
Rindu mentari pada rembulan
Tiada diutarakan, bukan?
Tiada pula kau tahu sesaknya ditahan
Aku merindumu dalam iringan hujan
Tiada pula awan memberi perhatian
Atau hanya akukah yang berlebihan?
Tetapi lebih baik begini bukan?
Merindu dan mencinta dalam diam atas kenangan
Nostalgia bicara tentang cinta dan masa depan
Masih terlalu hijau bagi kita kau katakan
Tiada pula kita dapat menjamin hal kemudian
Mungkin yang terbaik melepaskan untuk kebaikan
Tuk tutup perjalanan panjang bermandikan kesalahan
Kau telah berhitung satu sampai delapan
Hingga cahya membangunkanmu dari angan
Dan cukup bagiku dua jemari tangan
Untuk menjadikanmu sebuah akhiran
Sebelum datang waktunya di kemudian
Dan pada akhirnya kita seutuhnya menyerahkan
Semua pada haluan takdir yang telah digariskan
Bersama denganmu atau seorang lain yang kan menggantikan
Kita peroleh yang terbaik sebagai jawaban
Tetapi tiada salah meminta namamu dimasa depan, bukan?
Sabtu, 14 Maret 2015
Kamu
Pangeran yang tersisa tiada berbisa
Pemesona dengan indah rupa akhlak dan agama
Pemilik senyum manis pada datarnya air muka
Pemeluk ruang hati yang kini tak terbuka
Kamu. Kamu. Kamu. Kamu.
Pesan baik selalu tertambat dalam kalbu
Penghuni doa-doaku
Penyayang yang ku sayang
Penggoda iman remajaku
Ya, itu kamu
Kamu ...
Yang sedari dulu kusuai sebagai pelangi
Yang kini ku asa menjadi nanti
Yang kucinta dalam batas jaga
Yang mencintaku entah mengapa
Dalam hembusan angin rindu kutunggu
Jawaban semu dari sang waktu
Kamukah rima yang diukir Sang Pujangga dalam tiap larikku?
Kamukah rima untuk merangkai puisi bersamaku?
Benarkan, itu kamu?
Pemesona dengan indah rupa akhlak dan agama
Pemilik senyum manis pada datarnya air muka
Pemeluk ruang hati yang kini tak terbuka
Kamu. Kamu. Kamu. Kamu.
Pesan baik selalu tertambat dalam kalbu
Penghuni doa-doaku
Penyayang yang ku sayang
Penggoda iman remajaku
Ya, itu kamu
Kamu ...
Yang sedari dulu kusuai sebagai pelangi
Yang kini ku asa menjadi nanti
Yang kucinta dalam batas jaga
Yang mencintaku entah mengapa
Dalam hembusan angin rindu kutunggu
Jawaban semu dari sang waktu
Kamukah rima yang diukir Sang Pujangga dalam tiap larikku?
Kamukah rima untuk merangkai puisi bersamaku?
Benarkan, itu kamu?
Langganan:
Postingan (Atom)